Welcome to My Blog!

Bienvenue Sedoyo lan Sedulor
Follow Me

PENGUATAN TOLERANSI DI INDONESIA

Di negara demokrasi dimana kebebasan menyuarakan pendapat, aksi intoleran pasti terjadi. Sebab itu negara demokrasi harus memperkuat strategi toleransi.

Setelah masa reformasi dimulai pada tahun 1998 indonesia menjadi basis kelompok radikal seperti Islamic Defenders Front.  Beberapa pemimpin keagamaan dan pejabat pemerintah masih saja berpoleik tentang cara melawan keyakinan tertentu dan kelompok minoritas. Di masyarakat demokrasi, intoleran adalah perwujudan yang kurang baik bagi kebebasan berpolitik.

Uraian/penjelasan
Demo pada tanggal 5 november 2016 Anti-ahok mengingatkan bahwa jutaan masyarakat Indonesia masih sensitive terhadap Non-Muslim untuk menjadi pemimpin dari sebuah negara mayoritas islam. hal itu membuktikan tidak suksesinya sebuah demokrasi, bahkan hal itu cenderung menampakkan bahwa toleransi dipelihara dengan hati-hati dan intoleransi diatur oleh pemimpin.

Negara dan Tempat bagi Agama

Hasil dari polemik yang terus menerus itu, membuktikan bahwa banyak dari masyarakat Indonesia tidak khawatir dengan kepercayaan minoritas seperti Kristen, Syiah dan Ahmadiyah. Setiap ekspresi intoleran harus bertemu dengan ekspresi toleransi. Individual cenderung percaya terhadap suatu polemik ketika mereka melihat tetangga mereka, teman sekelas dan sesama warga yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda.

Hal ini adalah paparan tentang perbedaan yang menjelasakan bahwa mengapa Muslim Indonesiandari latar belakangan keagaamaan etnis kristen yang beragam seperti Toraja – Nias – Bali – cenderung lebih toleran dari etnis muslim dari latar belakang Sasak, Sumbawa dan Sunda.
Pemerintah saat ini hanya mengakui enam agama: Islam, Budha, Konfusianisme, Katolik, Hindu, Protestan, namun Indonesia adalah rumah bagi agama-agama lain juga. Program Konferensi Indonesia di bidang Keagamaan dan Perdamaian (ICRP) untuk eksistensi kepercayaan lokal merupakan contoh yang baik dari sebuah upaya untuk mendidik masyarakat tentang tradisi-tradisi yang berkembang seperti sunda wiwitan, Sikhisme, dan Baha’i.

Pengakuan publik adalah srtategi penting  untuk negara memperluas toleransi diluar system pluralism yang tergerus. Perhatian khusus juga harus ditujukan untuk mengedukasi pihak keamanan.  

Saat ini bahkan sistem pluralism malah mendorong penindasan kepapa minoritas-minoritas yang belum diakui seperti Sunda Wiwitan. Ini bisa terjadi sebaliknya. Keppres Pasal 1 tahun 1965 tentang penghinaan dan penodaan agama menyatakan bahwa agama-agama lain tidak bisa dilarang dan bahkan keppres tersebut menekan kepada kementerian Agama suapaya mengakui sebuah tradisi yang ada. Daripada memaksa semua siswa dididik di salah satu agama yang diakui, negara harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil kelas tentang perbandingan agama atau perbandingan etnik atau tidak mengambil satu pun.

NU dan Muhammadiyah sebagai tulang punggung dari Masyarakat Indonesia dan benteng dalam memerangi kelopok radikalisme. Banyak dari para pemimpin organisasi tersebut seperti Radica Mu’ti, Haedar Nasir, Said Aqil Siraj, dan Ahmad Ishomuddin mereka semua mengecam intoleransi, hal itu mendorong para pendukung mereka akan dapat menjaga demokrasi dan pluralism. Mencela intoleransi adalah bukan “Permainan Politik” hal ini merupakan manifestasi penting dari NU dan komitmen Muhammadiyah untuk toleransi.

Empat hal yang tidak dipelajari dalam toleransi

Berkat keterbukaan publik di Indonesia, ulama memainkan peran utama dalam memerangi intoleransi di Indonesia. Namun ada banyak cara studi intoleransi bisa ditingkatkan.  

Yang pertama mereka harus tepat. Karena toleransi adalah sebuah nilai nyata menghadapi kelompok minoritas. Itu adalah kesalahan, lebih dari 20 abad sikap terhadap orang-orang Kristen jauh lebih baik, sementara sikap terhadap Syi’ah dan Ahmadiyah justru memburuk. Perbedaan yang tidak bisa diabaikan. Demikian pula semenjak intoleransi bisa dipelajari melalui sikap, wacana, kekerasan fisik, atau kebijakan pemerintahan hal ini mudah untuk memunculkan semuanya bersama-sama. Hal ini pun adalah sebuah kesalahan. Sejak demokratisasi di tahun 1998 dan kekeresan yang terjadi di masa itu, tindakan intoleransi terhadap umat Kristen mulai menurun, tetapi itu tidak menunjukkan secara jelas bahwa sikap toleransi telah meningkat.

Yang kedua, mereka salah menggambarkan ukuran toleransi dalam demokrasi sekuler. demokrasi sekuler seperti di Amerika juga menghadapi masalah intoleransi. Tidak ada yang memberikan perhatian terhadap pergerakan warga kulit putih yang mendukung Donald Trump bisa berpikir sebaliknya. Indonesia juga tidak akan dapat memecahkan persoalan intoleransi jika negara masih saja menjadi sekuler. Ide tentang barat yang telah memechakan permasalahan terhadap intoleransi agama – baik negara berkembang atau negara muslim adalah bukan sebuah dogeng berbahaya.

Ketiga, mereka tidak bisa menggambarkan tingkatan intoleransi di era Soeharto. Orde baru menggunakan kelompok minoritas untuk menopang kekuasaan politik.
Sementara itu orde baru juga menyaksikan munculnya tokoh toleransi seperi Abdurrahman Wahid, hal ini menjelaskan bahwa gagasan gus dur bisa disematkan kepada anggota NU atau Muslim Indonesia. Data survei sejak tahun 1998 menjunjukkan bahwa pandangan gusdur mewakili hanya kelompok kecil. Persepsi umum bahwa Indonesia menghadapi “Krisis Intoleransi” sejak demokrasi dibangun dari gambaran parsial dari orde baru.

Indonesia Tidak Istimewa

Akahirnya, Indonesia bukan negara istimewa. System perundang-undangan yang plural sama seperti India, Switzerland, Canada, Belgium, Spanyol dalam memberikan campuran baik individual dan pengakuan kolektif.  Islamic Defender Foront di Indonesia sama seperi yang berkembang di Senegal, Mesir, dan turki yang juga sama seperi Organisasi Pembela Kristen di Eropa Utara dan Amerika Latin. Suatu anggapan yang keliru ketika dikatakan Islam Indonesia merupakan agama yang menolak Analisa dan rekomendasi dalam malawan intoleransi.

Indonesia menghadapi banyak tantangan yang sama yang dihadapi negara demokrasi lainnya: Gerakan radikal, Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, kurangnya akses pendidikan dan sejarah konflik sipil. Melihat bagaimana negara lain berhasil (dan tidak berhasil) dalam menghadapi tantangan intoleransi dapat membantu Indonesia menjadi bangsa yang lebih toleran dan dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain.

Jeremy Menchik adalah seorang asisten Professor di Pardee School of Global Studies at Boston University. Dia berkontribusi terhadap artikel ini untuk diberikan kepada RSIS Commentary. Ini adalah bagian dari the Indoneisa programme of the S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University. 

Penerjemah Oplosan: R_a


Oleh: Jeremy Menchik (Boston University of Americaa)

Penerjemah gadungan: R_a


"Kaedah fiqih yang berkaitan dengan kewajiban negara adalah hirasatud din wa siyasatun dunya, yang artinya menjaga agama dan mengatur tatanan dunia. Menjaga dari orang-orang yang berusaha menodai, merusak ataupun menghancurkan suatu agama. Di Indonesia masyarakat bebas menganut agama apapun, namun bukan berarti bebas mengotori agama orang lain dengan menebar kebencian, merusak kepercayaan, maupun segala aktivitas yang menyebabkan konflik social yang dilakukan oleh penyimpang kelompok."
Maman Abdurrahman, ketua Persatuan Islam (PERSIS)

Pendahuluan

Sejak berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto di tahun 1997, Indonesia berperan aneh didalam konflik-konflik ganjil, contohnya pembiaran main hakim sendiri terhadap Ahmadiyah, kelompok islam tersebut merupakan sekte kontroversial yang mempunyai banyak pengikut di belahan dunia. Islam Sunni berpendapat bahwa ahmadiyah bukan ajaran islam Karena mereka mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad, kelompok yang main hakim sendiri tersebut mengklaim bahwa Ahmadiyah telah merusak kemurnian  islam dengan melakukan propaganda bahwa ada nabi lain setelah nabi Muhammad SWA, yang pada akhirnya golongan ini dihukumi sebagai kelompok sesat. Berdasarkan keputusan presiden pada tahun 1965 bahwa hanya ada 6 agama resmi yang harus dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Padahal selama 10 tahun berjalan, ada tiga pilar demokrasi di Indonesia yaitu Negara, Polisi dan Muslim Sosial yang semuanya masih belum mampu mengatasi terror-teror yang berkembang.

Mengapa kekerasan terhadap Ahmadiyah masih terjadi ? apakah hal semacam itu memang ditargetkan untuk mengkredilkan  Ahmadiyah?. Tokoh termuka menganggap bahwa terror-teror tersebut terjadi akibat produk demokrasi, merosotnya moral bangsa dan juga pengaruh dari kelompok kecil yang sering main hakim sendiri seperti FPI dan HTI yang kebanyakan dari mereka menggunakan isu ahmadiyah demi mendapatkan perhatian Publik.

Sebagaimana laporan International Crisi Group (ICS): “di Pilkada tahun 2005 ditemukan bahwa kelompok garis keras melobi penduduk lokal untuk merubah arah kebijakan dalam melarang beredarnya alcohol dan menutup masjid Ahmadiyah” Kelompok HAM mengecam negara karena tidak mampu menekan kelompok garis keras tersebut. Namun anehnya senator Hillary Clinton memuji keberhasilan transisi demokrasi. Sebelumnya Advokasi terkenal Indonesia Andreas Harsono mengatakan bahwa “tidak ada yang patut dicontoh demokrasi di Indonesia Karena negara tidak mampu melindungi kelompok minoritas."


Dikatakan bahwa ketidakadilan terhadap Ahmadiyah bisa terjadi di negara islam moderat "Indonesia" maupun di negara sekuler...................................

BERSAMBUNG



Di kalaangan awam, ekonomi islam seperti ekonomi bangsa arab saja. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah karena memang saat ini ekonomi islam yang berkembang merupakan sistem kapitalisme yang diislamisasi. Setelah banyaknya kekacauan dan gagalnya ekonomi kapitalisme konvensional dalam menjawab kemashlahatan umat maka lahirlah Ekonomi Islam, dan ketika konvensional tersebut sudah digalau-in sama kekhawatiran-kekhawatiran masyrakat maka solusi yang “katanya” real beralih ke sistem ekonomi yang d-iislamisasi.

Bisa dibilang bahwa ekonomi islam yang lahir saat ini adalah anak haram dari sistem konvensional tersebut, belum ada sistem yang murni dibentuk dari teori islam. Jadi untuk menghasilkan ekonomi islam murni maka yang pertama kali dibangun harus dilandas dengan sistem hukum islam bukan yang adobsi konvensional.

Indonesia is the biggest Islamic rietail banking in the world yaitu negara dengan bank ritel syariah terbesar di dunia (Ritel adalah seluruh proses transfer barang dan jasa dari produsen ke konsumen). Di timur tengah dan negara-negara teluk lainnya, istilah Islamic banking (perbankan islam) adalah Islamic investmen banking (duitnya banyak tapi orangnya yang sedikit) dan uang tersebut diinvestasikan di London. kalau Islamic banking di Malaysia adalah Islamic corporate banking yaitu pembiayaan diberikan ke perusahan besar dengan jangka waktu relatif panjang dengan 70-75% persen dana pihak ketiganya adalah dana milik pemerintah dan BUMN, tapi yang bener-bener dari masyarakat hanya 20-25%, sehingga di Malaysia modal dananya stabil. Maka perbankan syariah berani memberikan modalnya ke perusahan besar.

Islamic banking di Indonesia adalah Islamic rittel banking yang artinya dana dari BUMN/Pemerintah tidak ada dan tidak tercampur. Hal itu karena regulasi/aturan bank syariah dan pemerintah dalam hal ini BUMN memang berbeda.

Ekonomi islam tidak hanya berkutat pada sektor perbankan islam saja, namun juga diterapkan pada sektor pertanian, perkebunan dan semua yang bersinggungan dengan kemashlahatan manusia. Namun saat ini sistem konvensional sangat dominan di Indonesia, jadilah ekonomi islam masih menonjol pada perbankan, asuransi dan pegadaian syariah saja.

Kalau kita tinjau secari kualitatif, embel-embel syariah (bank, pengadaian, asuransi) di Indonesia memang menunjukkan puncak musim seminya, yaitu menjadi tren tersendiri dikalangan pakar ekonomi meskipun pada tahun-tahun lalu banyak yang meragukan eksistensinya,

Mari kita lihat capain Indonesia saat ini sebagai beikut.

1. Indonesia adalah negara dengan jumlah BPR (Badan Pengkreditan Rakyat) terbanyak di dunia yaitu mencapai ±150 bpr.

2. Indonesia juga mempunyai asuransi syairah terbanyak di dunia yaitu 40 badan asuransi.

3. Raksa dana Syariah, dan sukuk dengan urutan kedua dibawah Malaysia.

4. Indonesia adalah negara dengan ±20 jt nasabah dan asuransi. Kalau dihitung hmpir sama dengan populasi penduduk Malaysia, SAUDI?? Lewat coyyy ……

5. Indonesia adalah negara yang paling banyak DPS (dewan pengawas syariah) yaitu ±208 orang yang sudah lulus sertifikasi satu yaitu sertifikasi akad murabahah musyarakah. Terdapat 3 level sertifikasi di DPS.

6. Indoneisa paling banyak universitas yang menawarkan mata kuliah syariah

7. Indonesia adalah negara yang mempunyai Islamic banker paling banyak di dunia yaitu 20.000 orang yang juga sudah lulus sertifikasi syariah.

Itulah segelintir capain Indonesia saat ini, dan jika dikembangkan lagi dan didrong oleh pemerintah maka tidak menutup kemungkinan Indonesia menjadi motor pergerakan ekonomi islam di dunia. Meskipun saat ini Malaysia yang paling menonjol namun kalau ada kebijakan khusus insya Allah akan berkembang pesat. Karena apa? Karena ±80% dri 250 JT penduduk Indonesia berada di konvensional, jika setengahnya saja ke syariah maka sudah sangat jelas kita berada di pucuk.

Faktanya lagi adalah Indonesia sudah menjadi kiblat tujuan pelajar dari afrika, eroap, amerika, turki (termasuk 15 negara ex-Rusia) sebagai tujuan pembelajaran islamic banking, bukan ke Malaysia maupun ke timur tengah karena kita menganut sistem ritel banking, bukan investmen banking. Kalau di Indoneisa memakai murobahah, tapi kalau di timur tengah tawarru’ murobahah.



Para pakar ekonomi syariah dan praktisi perbankan dan keuangan syariah, tidak cukup hanya mengetahui fiqih muamalah dan aplikasinya saja, tetapi yang lebih penting adalah memahami ushul fiqih dan maqashid syariah dari setiap produk perbankan dan keuangan syariah.

Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqih merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Alquran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkan dalil-dalil syariah itu di lapangan. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, orang yang tidak menguasai ilmu ushul fiqih, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah (syariah) kecuali dengan ilmu ushul fiqih.”

Senada dengan itu, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu ushul fiqih merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainnya adalah hadits dan bahasa Arab. Prof. Dr. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah bagian dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya berbagai transaksi bisnis modern, halal haramnya bentuk bisnis tertentu, memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah atau dewan syariah, harus menguasai ilmu ushul fiqih secara mendalam karena ilmu ini diperlukan untuk berijtihad.

Seorang pakar ekonomi syariah yang menduduki posisi sebagai dosen, guru besar atau Doktor, pejabat tinggi di bank syariah, dewan pengawas syariah atau pejabat regulator syariah (OJK dan BI) dan dewan syariah, harus menguasai ilmu ushul fiqih bersama ilmu-ilmu terkait, seperti qaw’aid fiqih, tarikh tasyri’ fil muamalah, falsafah hukum Islam, maqashid syariah, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, mushtalahul hadits, bahkan sejarah pemikiran ekonomi Islam.



Oleh karena penting dan strategisnya penguasaan ilmu ushul fiqih, maka para ahli ushul fiqih mengatakan, bahwa untuk menjadi seorang faqih (ahli fiqih), tidak diharuskan membaca seluruh kitab-kitab fiqih yang begitu melimpah dari semua mazhab secara luas dan detail, tetapi cukup memiliki kemampuan dan kompetensi ilmu ushul fiqih, yaitu kemampuan istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syariat, baik ijtihad istinbathy maupun ijtihad tathbiqy, ijtihad intiqa’iy maupun ijtihad insya’iy. Metodologi istinbath tersebut disebut ushul fiqih. Demikianlah pentingnya ilmu ushul fiqih bagi seorang ulama dan pakar ekonomi Islam.

Ilmu ushul fiqih memberikan pemahaman tentang metodologi istinbath (penetapan hukum Islam) para ulama dalam merumuskan dan memutuskan suatu masalah hukum Islam, karena itu ushul fiqih adalah metodologi yurisprudensi Islam, yaitu metodologi ilmu hukum Islam yang menghasilkan produk-produk hukum Islam, menghasilkan fiqih muamalah, fatwa-fatwa dan regulasi.

Ilmu Ushul fiqih memberikan dalil-dalil syariah dan argumentasi syariah mengenai suatu kebijakan, produk, system dan mekanisme perbankan syariah. Ushul fiqih yang berwawasan maqashid syariah memberikan perspektif filosofis dan pemikiran rasional tentang akad-akad pada setiap produk perbankan syariah. Ilmu Ushul fiqih adalah ilmu hukum Islam yang sering disebut juga sebagai The Principle of Islamic Jurisprudence. Hal ini dikarenakan ushul fiqih bermuatan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (ilmu hukum Islam). Ushul fiqih berisi teori-teori hukum Islam, kaidah-kaidah perumusan dan penetapan hukum atau dictum Islam, yang pada forum workshop eksekutif iqtishad dikhususkan tentang teori hukum tentang ekonomi keuangan syariah.

Ushul fiqih adalah ibu (induk) dari semua ilmu syariah, karena itu ushul fiqih adalah induk dari ilmu ekonomi syariah. Keputusan-keputusan fiqih muamalah keuangan dan seluruh ketentuan ekonomi Islam di bidang makro dan mikro pastilah menggunakan metodologi ilmu ushul fiqih. Apabila fikih muamalah dan semua peraturan hukum Islam adalah produk ijtihad, maka ushul fiqih adalah metodologi berijtihad untuk menghasilkan produk-produk fiqih, fatwa dan segala bentuk regulasi, karena itulah, regulator, pembuat peraturan dan Undang-Undang seharusnya memahami dengan baik ilmu ushul fiqih, karena ushul fiqih adalah metodologi ijtihad untuk menghasilkan produk fiqih muamalah, fatwa, regulasi dan Undang-Undang.

Ushul fiqih juga adalah disiplin ilmu syariah yang memberikan landasan dan kerangka epistimologi ilmu ekonomi Islam, sehingga, kajian epestimologi ekonomi syariah tidak bisa melepaskan diri dari disiplin ilmu ushul fiqih. Professor Masudul Alam Choudhuriy telah membahas epistemology ekonomi Islam dengan menjadikan ushul fiqih sebagai acuan, kerangka dan teorinya sekaligus.

Dalam disiplin ilmu ushul fiqih pembahasan mengenai dasar-dasar pemikiran dan kaidah-kaidah yang sangat diperlukan sebagai pijakan dasar dalam membangun sebuah formulasi hukum ekonomi Islam yang diinginkan dibahas secara holistic, komprehensif dan tuntas. Dengan perkataan lain ushul fiqih adalah disiplin ilmu yang paling penting sebagai perangkat metodologis yang paling berkompeten guna menyusun, membentuk dan memberi corak ekonomi Islam yang diharapkan.

Dalam pengembangan hukum syariah selama ini, permasalahan krusial yang menghambat upaya pembaharuan dan reformulasi hukum Islam adalah miskinnya metodologi. Kenyataan itu lebih parah terjadi di bidang ekonomi syariah saat ini, dimana kajian-kajian akademis ekonomi syariah masih miskin metodologi syariah, artinya miskin ilmu ushul fiqih yang mencerahkan, ushul fiqih yang bermuatan maqashid syariah, yang kaya dengan wawasan historis, rasional dan filosofis, akibat kemiskinan metodologi itu, maka pandangan-pandangan, pemikiran-pemikiran ekonomi syariah serta pemahaman para pakar ekonomi syariah selalu kurang tepat, parsial, atomistis bahkan terkadang dangkal.



Ilmu ushul fiqih sangat langka diajarkan dalam materi-materi training perbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah, bahkan materi bahasannya tidak ditemukan sama sekali. Oleh karena itu para pakar ekonomi Islam dan SDM bank syariah termasuk regulator syariah sangat jarang memahami ilmu ushul fiqih. Padahal disiplin ini menduduki posisi utama dalam ilmu ekonomi syariah, khususnya bagi para pimpinan bank, regulator, dewan fatwa, terlebih dosen-dosen di Program Pascasarjana Ekonom Islam.

Ilmu ushul fiqih akan meningkatkan derajat intelektualisme para akademisi dari taqlid (muqallid) kepada muttabi’, bahkan bagi ulama bisa menjadi mufti dan mujtahid. Para Guru Besar, Doktor dan dosen Pascasarjana yang memberi kuliah di kampus, para pengawas dan regulator di OJK, Bank Indonesia atau praktisi yang menjabat posisi penting di perbankan (direksi, divisi legal, product development, ALCO, auditor, DPS), juga konsultan, sepatutnya (seharusnya) mengetahui ilmu ushul fiqih di bidang ekonomi keuangan, agar pengetahuannya di bidang ekonomi syariah komprehensif dan holistic. Karena ia melandasi pengetahuan fiqih muamalahnya dengan seperangkat metodologi, alasan-alasan rasional dan filosofis, argumentasi-argumentasi dan dalil-dalilnya secara syariah serta maqashid syariahnya. Maqashid syariah menduduki posisi yang paling utama dalam ilmu ushul fiqih. Tanpa pendekatan maqashid syariah, maka ushul fiqih akan kering dan menghasilkan keputusan dan ketetapan yang artificial dan kering pula.

Maqashid Syariah


Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqih, karena itu maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi syariah, Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.

Fathi al-Daraini dalam buku Al-Fiqh al-Islam al-muqarin ma’a al-mazahib mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid syariah merupakan pengetahuan yang utama dan memiliki proyeksi masa depan dalam rangka pengembangan teori ushul fiqih, karena itu maqashid syariah menurutnya merupakan ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam melakukan ijtihad seorang mujtahid harus menguasai maqashid syariah. ‘Abdul wahhab Khallaf dalam Buku Ilmu Ushul fiqih menyebut dengan tegas bahwa nash-nash syariah tidak dapat dipahami secara tepat dn benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid syariah dan asbabun nuzul (latar belakang historis turunnya ayat). Keberhasilan penggalian hukum ekonomi Islam dari dalil-dalil Alquran dan hadits sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang maqashid al-syariah yang dapat ditelaah dari dalil-dalil tafshili (Alquran dan sunnah)

Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan ganda (alat sosial kontrol dan rekayasa sosio-econonomy) untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, tetapi juga lebih dari itu, maqashid syariah dapat memberikan dimensi filosofis dan rasional terhadap produk-produk hukum ekonomi Islam yang dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi syariah kontemporer. Maqashid syariah akan memberikan pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam memandang akad-akad dan produk-produk perbankan syariah. Hanya dengan pendekatan maqashid syariahlah produk perbankan dan keuangan syariah dapat berkembang dengan baik dan dapat merespon kemajuan bisnis yang terus berubah dengan cepat.

Tanpa maqashid syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan perbankan, kebijakan fiscal dan moneter, akan kehilangan substansi syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan statis, akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat berkembang. Tanpa pemahaman ushul fiqih dan maqashid syariah, maka pengawas dari regulator gampang menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan gampang menolak produk inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid syariah maka regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah akan rancu, kaku dan mengalami kesalahan fatal. Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fiqih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid syariah akan membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif menciptakan produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.

Berdasarkan paparan di atas, maka para pejabat Bank Indonesia yang mengawasi dan mengaudit bank syariah, dan pejabat OJK yang mengawasi/meregulasi LKS, wajib sekali (mutlak, tidak bisa ditawar), harus memiliki kompetensi yang standar, Untuk itulah dibutuhkan sertifikasi ushul fiqih bagi regulator keuangan syariah, dan karena itu pula mereka wajib mengikuti training dan workshop ushul fiqih tentang perbankan dan keuangan syariah. Demikian pula halnya bagi auditor eksternal dan internal perbankan dan lembaga keuangan syariah terlebih bagi para perumus PSAK, hukumnya semakin wajib. Selama ini belum ada seorang pun auditor dan pengurus IAI yang mengikuti training ushul fiqih certified, sehingga kompetensi mereka dalam bidang syariah sebenarnya belum distandardisiasi. Realita ini sangat berbahaya jika dibiarkan terus menerus.

Sejalan dengan pertumbuhan perbankan dan keuangan syariah yang semakin cepat, kekurangan ini harus diperbaiki secara bertahap. Apalagi para pengawas bank syariah dari Bank Indonesia di seluruh daerah Indonesia, hukumnya wajib memiliki kompetensi ilmu syariah yang terstandar, yaitu ilmu ushul fiqih perbankan, yang selama ini terabaikan oleh lembaga otoritas tersebut. Dampak buruk dari mengabaikan pilar penting ini, adalah terjadinya kekakuan, kesempatan dan bahkan kesalahan dalam pengawasan dan pengauditan, Banyak sekali (bahkan tidak terhitung jumlahnya), keluhan dan pengaduan praktisi perbankan syariah tentang kejumudan (kekakuan, dan kefatalan) yang dilakukan oleh personil pengawas bank dari lembaga regulator pemerintah tersebut, terutama pengawas di daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Ushul fiqih di Perguruan Tinggi


Perkembangan Program Pendidikan S1, S2 dan S3 Ekonomi Syariah di Indonesia makin pesat seiring dengan pertumbuhan perbankan dan keuangan syariah. Ushul fiqih dan Qawaid fiqh adalah mata kuliah wajib di program-program tersebut. Namun silabus ushul fiqih dan materi yang disampaikan, umumnya masih sangat jauh tertinggal dari kebutuhan dan tuntutan industri perbankan dan keuangan kontemporer. Hampir semua materi mata kuliah ushul fiqih di Program Pascasarjana (Ekonomi Syariah) di Indonesia belum memecahkan masalah-masalah dan kasus-kasus finance dan perbankan kontemporer dalam analisis ushul fiqih dan maqashid syariah. Akibatnya target pengajaran ilmu ushul fiqih tidak tercapai. Mereka menganggap bahwa ilmu ushul fiqih yang diajarkan adalah ilmu ushul fiqih di fakultas syariah di UIN, IAIN atau STAIN. Padahal ilmu ushul fiqih yang diajarkan Program Pascasarjana Ekonomi Syariah berbeda materinya dengan pengajaran ushul fiqih pada umumnya.

Silabus ushul fiqih yang dikembangkan di universitas-universitas yang membuka prodi/konsentrasi ekonomi syariah masih berkutat dengan kasus-kasus beberapa abad silam, bahkan 1 millenium silam, sangat sedikit tentang kasus-kasus financial dan ekonomi apalagi mengenai kasus-kasus financial kontemporer, nyaris tidak tersentuh sama sekali. Buku ushul fiqih lebih banyak diwarnai contoh kasus-kasus ibadah, jinayah, munakahat dan non ekonomi financial. Kalaupun ada sedikit ekonomi, kasusnya sangat sederhana. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqih yang diajarkan tidak bisa menjawab dan meresponi isu-isu dan problem keuangan kontemporer, seperti hedging (swap, forward, options), margin during contruction, profit equalization reserve (PER), trade finance dan overseas financing puluhan kasus hybrid contracts, hybrid take over dan refinancing, instrument money market inter bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi antar bank syariah atau dengan konvensional, restrukturisasi, pembiayaan property indent, ijarah maushufash fiz zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, skim KTA, pembiayaan multi guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan fiducia, hypoteik dan hak tanggungan, serta sejumlah kasus-kasus baru yang terus bermunculan. Kesenjangan ini pada gilirannya tidak bisa mengantar seorang akademisi ataupun praktisi kepada pemahaman metodologi istimbath masalah-masalah ekonomi keuangan kontemporer, yang semakin kompleks.

Kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan di universitas-universitas dengan kasus-kasus aktual yang hendak dijawab dan dibutuhkan industri keuangan tidak boleh dibiarkan berlangsung.

Para Guru Besar Ushul fiqih, Guru Besar Syariah, Fiqih Muamalah, Guru Besar Ekonomi, Guru Besar Hukum, dan Doktor Ekonomi Islam, Doktor Syariah, Doktor Ekonomi yang peduli (berminat) ilmu ekonomi syariah, mutlak harus memahami Ushul fiqih Keuangan Islam kontemporer dengan baik. Untuk itu para pakar syariah tersebut harus memahami ilmu finance kontemporer, praktik dan perkembangannya.

Semua dosen Ushul fiqih di Perguruan Tinggi di Indonesia, baik dosen Program Doktor, Dosen Program Magister dan Strata 1, harus mengikuti forum Workshop Ekselutif Maqashid Syariah pada Ekonomi, Keuangan dan Perbankan, agar materi pengajaran (kuliah)nya terhadap mahasiswa menjadi segar, baru, kontekstual, solutif dan mencerahkan, sehingga bisa melahirkan dosen, DPS, sarjana dan praktisi yang berkualitas.

Pendekatan Maqashid Syariah dalam Workshop


Kajian ushul fiqih dalam forum workshop Iqtishad Consulting lebih banyak ditekankan pada ushul fiqih yang bermuatan maqashid syariah. Maka dalil-dalil yang dibahas umumnya dalil-dalil yang berdimensi maqashid syariah. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) dalil syariah, yaitu (Alquran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, maslahah mursalah, ‘Urf, Sa’ad zariah, Istishab, fatwa sahabat dan syar’u man qablana). Pembahasan dalil-dalil dari kasus-kasus aktual kontemporer dalam training ini, senantiasa dijiwai oleh maqashid syariah, sebagai pedoman utama dalam perumusan hukum finansial Islam. Oleh karena itu, kajian maqashid syariah mendapatlan waktu dan porsi pembahasan luas dalam forum eksekutif ini.

Selain membahas dalil-dalil syariah dan metode-metode perumusan hukum Islam, Forum Ushul fiqih Perbankan dan keuangan ini akan membahas secara mendalam praktik maqashid syariah sejak zaman Nabi yang dilakukan Rasulullah dengan contoh-contoh kasus yang menarik. Demikian pula maqashid syariah pada zaman sahabat, juga direkonstruksi dengan kasus-kasus historis yang penting sebagai ibrah (pelajaran) dalam berijtihad bagi akademisi dan regulator untuk perumusan regulasi, peraturan, fatwa dan Undang-Undang. Begitu pula maqashid syariah di zaman Imam-Imam mazhab, sampai ke zaman abad pertengahan di masa Imam Al-Ghazali, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, bahkan sampai ke zaman Syah Waliullah ad-Dahlawy. Dengan demikian, maqashid syariah tidak saja dikaji dari sisi teori dan konsep, melainkan juga dari segi sejarahnya selama berabad-abad. Pendeknya maqashid syariah akan dipaparkan dalam forum ini secara komprehensif dan tuntas, agar bisa menjadi cermin dan pedoman bagi ilmuwan, cendikiawan, ulama dan regulator dalam membuat regulasi, mengawasi, mengaudit dan menciptakan produk perbankan dan keuangan. Selama ini banyak kajian maqashid syariah dilakukan secara dangkal yang hanya berupa kulit-kulit luar saja, sehingga belum banyak pengaruhnya menjiwai perumusan regulasi, penciptaan produk dan malah menciptakan kekakuan dalam pengembangan produk perbankan dan keuangan syariah.

Untuk lebih mengkomprehensifkan materi forum training eksekutif ini, kajiannya juga menggunakan ilmu qawaid fiqh dan tarikh tasyrik fil-muamalat serta didukung ilmu tafsir, ulumul quran dan hadits (mushtalahul hadits). Pendekatan yang holistic ini akan menunjukkan secara nyata bahwa ekonomi syariah adalah ilmu yang multi disiplin yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Dan yang lebih penting lagi, pendekatan yang holistic ini akan menghasilkan produk regulasi, aturan dan produk perbankan dan keuangan yang benar-benar sesuai dengan maqashid syariah.

Dalam konteks keindonesiaan kita juga perlu memahami metode penetapan fatwa MUI di Indonesia, yakni bagaimana manhaj dan metode ijtihad yang dilakukan MUI dalam menetapkan fatwa-fatwa ekonomi syarah. Ini penting, agar para akademisi dan praktisi memahami metodologi syariah dalam penetapan suatu hukum ekonomi Islam, sehingga akademisi dan praktisi mengetahui bahwa penetapan fatwa tidak dilakukan sembarangan, melainkan dengan metodologi ushul fiqih yang sophisticateddan sangat ekstra hati-hati.

Urgensi penggalian illat


Konsep illat menjadi bagian penting dalam pembahasan maqashid syariah. Illat merupakan penyebab suatu ketentuan hokum, atau alasan rasional suatu ketentuan hokum syariah. Misalnya illat keharaman riba fadhl pada emas adalah muthlaq ats-tsamaniyah.

Ilmu ushul fiqih yang bermuatan maqashid syariah akan memberikan pemikiran rasional dan filosofis tentang ketentuan ketentuan fiqh muamalah, misalnya mengapa gharar itu dilarang, dan apa illat dari setiap larangan gharar? Mengapa bay’ kali bi kali dilarang? Apa illatnya? Mengapa riba fadhal dilarang? Apa illatnya? Kajian illat dan falsafah tasyri’ tentang riba fadhal ini akan menghasilkan argumentasi rasional mengapa penangguhan jual beli emas, perak, dollar, rupiah dilarang? Tetapi mengapa tahawwuth/hedging untuk maslahah dibolehkan? Mengapa pertukaran dinar dengan rupiah harus cash, sedangkan jual beli emas batangan/perhiasan secara cicilan dibolehkan. Dalam kasus yang lain, mengapa talaqqi rukban dilarang? Apa illatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu, menjadi wilayah kajian ilmu ushul fiqih. Ketika illat ditemukan, maka akan berlaku kaidah Al-hukm yaduru ma’al illati wujudan wa’adaman. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu kan ditemukan di forum workshop eksekutif maqashid syariah dalam ekonomi, keuangan dan perbankan syariah.

Terus yang penting lagi adalah, apaillat larangan transkasi dua akad dalam satu transaksi? Mengapa akad two in one itu dilarang dan mengapa hybrid kontrak dibolehkan? Bentuk akad two in one bagaimana yang dilarang. Jawabannya harus dijelaskan secara rasional dan filosofis dalam koridor ilmu ushul fiqih. Urgensi mengetahui illat ini menjadi keharusan, mengingat telah terjadi kesasahan fatal, yaitu mengeneralisasi secara salah bahwa setiap two in one (dua akad dalam 1 transaksisi) dilarang, padahal hanya ada dua bentuk saja dari akad two in one yang dilarang. Ratusan bentuk lainnya dihalalkan. Kesalahan fatal ini karena kajian fikih muamalahnya tanpa didasari ilmu ushul fiqih tentang illat dan maqasid syariah serta kajian ilmu hadits yang mendalam.

Satu lagi yang cukup penting adalah tentang akad ta’alluq, Ada banyak pandangan yang mengenerasisasi semua ta’alluq itu dilarang, semua jual beli bersyarat itu dilarang, tanpa mengkaji dan memahami mengapa ta’alluq itu dilarang, apa illatnya, bentuk ta’alluq yang bagaimana yang dilarang dan bentuk ta’alluq bagaimana yang dibolehkan? Mengapa jual beli bersyarat itu dilarang,apa illatnya? Semua pengetahuan ini sangat berguna menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yaitu akan memberikan pemahaman apa dan bagaimana bentuk akad ta’alluq yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan, begitu pula jual beli bersyarat, mana jual beli yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan. Semua analisisnya harus didasarkan pada kajian illat dalam metodologi ushul fiqih selain analisis ilmu mushtalahul hadits.

Contoh lainnya yang juga menarik adalah akad sewa beli (lease and purchase), apakah akad ini bisa disebut sebagai gharar? Apa yang gharar dalam akad ini? Ketidakjelasan akadnya sewa atau beli, atau dianggap tidak jelas pemindahahan kepemilikan? Di sinilah diperlukan kajian illat dan maqashid syariah, sebuah kajian falsafah syariah mengapa gharar itu dilarang, apakah illatnya terdapat pada akad sewa beli itu?

Secara praktis, sebenarnya akad sewa beli tidak gharar, karena akadnya sudah jelas sekali. Dr. Usman Tsabir sudah membahas kontrak ini dalam buku Fiqih Muamalah Maliyah Mu’ashirah, secara tuntas (Kuwait, 2006). Begitu sewa berakhir, maka secara otomatis dan demi hukum asset menjadi milik nasabah, tanpa perlu akad baru lagi, karena janji hibah yang diaktekan ada saat akad sudah terwujud secara otomatis setelah berakhirnya periode sewa. Kejelasan akad sewa beli ini, tidak akan memancing dispute atau rawan perselisihan, karena itu hukumnya boleh. Jual beli gharar yang illatnya sudah hilang, hukumnya boleh, sesuai dengan kaidah al-hukm yaduru ma’al illat wujudan wa ‘adaman.

Dalam kasus ini gharar itu dilarang karena akan sangat rawan menimbulkan perselisihan para pihak, sedangkan dalam akad sewa beli semuanya sudah jelas, sama jelasnya dengan kontrak jual beli. Karena akad yang jelas itu maka peluang perselisihan akibat akad hybrid sebenarnya tidak ada. Kalaupun peluang dispute ada, tapi porsinya sedikit sekali dan kecil sekali, bahkan disputenya bukan karena ghararnya, melainkan karena moral hazard di antara kedua pihak, misalnya dengan sengaja menunda pembayaran cicilan. Kecilnya peluang perselisihan sewa sama saja dengan kecilnya peluang jual beli murabah cicilan, sebab setiap akad pasti selalu ada kemungkinan terjadinya perselisihan, tapi sekali lagi bukan karena ketidakjelasan akadnya, melainkan karena morald hazard terutama dari nasabah yang mencicil.

Mari kita gunakan logika yang salim, kalau ada akad lease and purchase tanpa hunga, dengan ketentuan akad yang jelas, maka hukumnya boleh, karena tidak gharar. Dengan demikian tidak semua gharar itu dilarang. Hanya gharar yang besar (gharar katsir) saja yang dilarang, yaitu yang peluang mendatangkan perselisihan saja yang dilarang syariah, sedangkan gharar yang sedikit tidak dilarang. Oleh karena itulah ulama membagi gharar kepada 3 macam, gharar katsir, gharar mutawassith dan gharar qalil.

Kemahiran menemukan illat, maslalah dan maqasahid dari suatu akad dan transaksi sangat diperlukan, mengingat kasus-kasus baru terus bermunculan, seperti pembiayaan KPR syariah secara indent, MDC (Margin During Construction), tawarruq munazzam, dan sebagainya. Ilmu ushul fiqih akan merekonstruksi illat dari larangan jual beli indent (KPR Property Syariah), bentuk pembiayaan KPR indent bagaimana yang dilarang? Mengapa dalam jual beli salam, uangnya harus cash? sehingga jual beli kali bikali (al-bay’ bi ajli badalain) dilarang? dan bentuk kali bikali bagaimana yang dilarang, dan mengapa dilarang? Apa perbedaan illat antara KPRS Indent (yang menggunakan akad MMq) dengan jualbeli kali bi kali yang dilarang Nabi Muhammad saw? Atau dengan perkataan lain, apakah boleh cicilan pada salam fil manafi’ untuk pembiayaan KPRS Indent dengan musyarakah mutanaqishah? Kalau dilarang apa illatnya? Apakah illatnya sudah berubah dan berbeda dengan illat kali bi kali? Kalau illatnya sama maka KPRS indent dengan MMq tentu tidak dibolehkan, tetapi jika illatnya berbeda,maka KPRS Indent dengan MMq dibolehkan.Disinilah diperlukan kecerdasan dan kepiawaian dalam menemukan illat suatu kasus keuangan syariah.

Untuk Menemukan Illat dibutuhkan disiplin ilmu lain


Upaya menemukan illat sering kali membutuhkan pengetahuan disiplin ilmu lain yang terkait, misalnya ilmu ekonomi makro. Mungkin secara fiqh muamalah formal, suatu kasus dibolehkan, tetapi setelah mengkaji maslahat dan mufdharatnya dari perspektif ilmu ekonomi makro, sesuatu kasus situ bisa dilarang. Karena itu kita jangan terjebak kepada kerangkengfiqh muamalah,tapi temukanlah illat, temukan maslahah dan mudharat dalam sinaran maqashid syariah.

Mungkin saja seseorang ahli dalam ushul fiqih, tapi tidak menggunakan pisau analisis ilmu ekonomi makro, sehingga tidak bisa menemukan illat dengan tepat di bidang ekonomi, Misalnya ada seorang pakar di luar negeri yang membolehkan transaksi bursa komodity berjangka karena mengqiyaskannya dengan bay’ salam, secara formal (fiqih) memang kelihatnnya mirip. Namun secara illat dan maqashid, terdapat unsur derivatif ribawi di dalamnya, sehingga transkasi itu menjadi terlarang.

Contoh lain yang cukup sederhana antara lain tentang illat larangan riba, dikatakan illatnya zhulm. Kesalahan menemukan illat riba, akan menimbulkan kesalahan fatal berikutnya, misalnya menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3 persen setahun adalah tidak riba dibanding margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12 persen setahun. Di sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro Islami, seperti teori inflasi, teori bubble dan krisis, hubungannya dengan produksi, employment, dan sebagainya.

Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam harus bisa menemukan illatnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan tentang illat ini begitu urgen, karena dengan mengetahui illat, maka ketentuan fiqih muamalah akan selalu bermuatan maslahah dan maqashid syariah sehingga syariah akan selalu aktual, segar dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan tuntutan-kemajuan-zaman.

Dalam ilmu ushul fiqih kajian tentang illat dibahas dalam sub bahasan masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul manath, kemudian tanqihul manath dan terakhir tahqiqul manath.

Selanjutnya dalam kajian illat dan maslahah, seorang ahli ushul fiqih harus bisa menentukan qiyas jaliy dan qiyas khafi dalam banyak kasus ekonomi keuangan, Tanpa pengetahuan tentang qiyas jaliy dan qiyas khafiy, maka akan mengakibatkan pandangan yang keliru dalam memahami suatu konsep fiqih muamalah, seperti menggenerasilasi semua tawarruq dilarang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya dengan tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertanian dan UMKM, maka penyalurannya juga pasti menganalisa risiko dan kalkulasi bisnis pertanian itu. Harus juga dibedakan tawarruq fiqhiy yang dimakruhkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, dengan tawarruq fiqhiy yang nyata-nyata dananya untuk sektor riil. Dengan demikian, pakar keuangan syariah, akademisi dan praktisi harus bisa memahami konsep Istihsan dengan baik, agar pemahaman keuangan syariahnya utuh dan komprehensif.

Pengetahuan pisau analisis qiyas jaliy ke qiyas khafiy, akan menolong seorang pakar untuk membedakan musyarakah mutanaqishah untuk KPRS indent dengan Ijarah Maushufah fiz Zimmah (IMFZ) dengan bay kali bi kali (al-bay’ bi ajli badalain). Kalau seorang ahli fiqih tidak bisa membedakannya, maka MMq indent dianggap tidak sah, karena IMFZ sesungguhnya adalah bay’ salam, sedangkan bay’ salam harus duluan semua uangnya. Di sinilah perlu analisis dan kajian komprehensif tentang perbedaan IMFZ dengan bay kali bi kali, Setidaknya terdapat 4 hal yg membedakanantara keduanya dan para ulama dunia membolehkannya asalkan akadnya tidak menggunakan redaksi salam.

Di sisi lain, pembiayaan KPRS indent dengan IMFZ harus dikaji dan dianalisis dengan bantuan ilmu ekonomi makro, sebab mungkin saja secara teori hukum Islam lolos, namun dari aspek kajian yang lebih luas, (ilmu ekonomi makro), transaksi itu menimbulkan resiko kemudhratan, misalnya membuka spekulasi property, menciptakan gelembung-gelembung harga, yang berisiko tunggi bagi bank yang memberikan pembiayaan, dan sebagainya. Nah, kalau ada problem mudarat seperti itu, maka pembiayaan property indent dengan IMFZ pada MMq, seharusnya dilarang, sebagaimana yang secara cerdas telah diatur oleh Bank Indonesia, sebelum berpindah ke OJK.

Kajian-kajian maqashid syariah yang bermuatan analisis illat, alasan-alasan rasional dan filosofis akan mewarnai semua kajian akad-akad, produk, mekanisme, sistem dan regulasi keuangan dan perbankan syariah

Kalangan masyarakat awam, mungkin tidak begitu perlu memahami ilmu ushul fiqih keuangan, tetapi, seorang pejabat bank/LKS, direksi, DPS, terlebih regulator (OJK) dan BI, Dosen Ekonomi Syariah, auditor, hakim, wajib memahami ilmu ushul fiqih dan maqashid syariah. Demikian pula General Manager Bank Syariah, Pimpinan Divisi, Head Group, Branch Manager, (kepala cabang), semua dosen prodi ekonomi Islam, konsultan, notaris syariah perlu memahami ilmu ushul fiqih ini. Untuk itulah, Iqtishad terus-menerus menggelar Training dan Workshop Ushul fiqih fil Muamalah Maliyah Mua’shirah, yaitu ushul fiqih tentang keuangan kontemporer bagi Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam, Dosen Prodi Ekonomi Islam, DPS, Komisaris Bank/LKS, Direktur Bank Syariah/LKS, Dewan Pengawas Syariah, Regulator (OJK), Lawyer, Hakim, Auditor, akuntan public, notaries, dan konsultan, bahkan untuk para Guru Besar (Professor dan Doktor-doktor ekonomi Islam, Doktor Syariah dan Doktor Ekonomi yang berminat mendalami ekonomi Islam


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/11/12/59891/pakar-ekonomi-syariah-harus-memahami-ilmu-ushul-fiqih/#ixzz3SarEOPJH
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
  1. Dengan telah diberlakukannya UU tentang Perbankan Syariah, maka terdapat 2 (dua) UU yang mengatur perbankan di Indonesia, yaitu UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
     
  2. Dalam definisi Prinsip Syariah terdapat dua hal penting yaitu: (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam, dan (2) penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
     
  3. Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu:(1) dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan (2) dalam bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerima wakaf uangdan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (Pasal 4).
     
  4. Pihak - pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.
     
  5. Selain mendirikan Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dapat melakukan pengubahan(konversi) bank konvensional menjadi Bank syariah. Pengubahan dari Bank Syariah menjadi bank konvensional merupakan hal yang dilarang dalam UU ini (Pasal 5).
     
  6. Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia, WNI dan/atau badanhukum Indonesia dengan warga negara asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, atau Pemerintah daerah. Sedangkan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh WNI dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI, pemerintah daerah, atau gabungan dua pihak atau lebih dari WNI, badan hukum Indonesia dan pemerintah daerah (Pasal 9).
     
  7. UU Perbankan Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (Pasal 7).Setiap upaya penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BankSyariah wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Hasilpenggabungan dan peleburan antara Bank Syariah dengan bank lainnyadiwajibkan untuk menjadi Bank Syariah (Pasal 17)
     
  8. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
     
  9. Secara umum bank syariah dan UUS dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di lantai bursa serta kegiatan perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah (Pasal 24 dan Pasal 25). Bagi BPRS, selain larangan tersebut, juga dilarang untuk membuka produk simpanan giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran serta kegiatan valuta asing kecuali penukaran valuta asing (Pasal 25).
     
  10. UU Perbankan Syariah juga mewajibkan dibentuknya Dewan Pengawas Syariah di setiap Bank Syariah dan Bank Umum konvensional yang memiliki UUS, dengan tugas antara lain memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (pasal 32). Dewan Pengawas Syariah tersebut diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
     
  11. Pengaturan mengenai rahasia bank pada umumnya sama dengan UU Perbankan konvensional, yang wajib dirahasiakan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenainasabah penyimpan dan simpanannya, serta kewajiban tersebut berlaku bagi bank dan pihak terafiliasi.

    Beberapa pengaturan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Syariah yang berbeda dengan UU Perbankan konvensional, antara lain:
    • Tidak diaturnya pengecualian rahasia bank untuk kepentingan piutang yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN, seperti halnya yang diatur dalam UU Perbankan konvensional. Dengan demikian pengecualian rahasia bank yang dapat dimintakan izinnya ke BI terbatas hanya untuk kepentingan perpajakan, dan kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Di samping itu terdapat pengecualian lainnya yang tidak memerlukan izin dari BI, yaitu dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, dan atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, serta bagi ahli waris yang sah dalam hal nasabah telah meninggal dunia.
    • Pengaturan mengenai penyidik diperluas, tidak hanya terbatas pada jaksa atau polisi, tetapi berlaku juga bagi penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan UU (Pasal 43). Dengan demikian para penyidik di luar polisi atau jaksa dapat meminta keterangan mengenai rahasia bank, namun permintaan tersebut tetap diajukan oleh pimpinan instansi/departemen atau setingkat menteri.
  12. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau di luar Peradilan Agama apabila dalam akad telah diperjanjikan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan denganPrinsip Syariah (Pasal 55).
     
  13. Dalam Aturan Peralihan telah diaturmengenai batasan UUS beralih menjadi Bank Umum Syariah,mengingat UUS hanya bersifat sementara, yaitu :
    • Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluhpersen) dari total nilai aset bank induknya, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah; atau
    • 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib melakukan pemisahan UUS yang dimilikinya menjadi Bank Umum Syariah.

 yang terkahir adalah Tabel Perbedaan antara B.Syariah dan konvensional