PENGUATAN TOLERANSI DI INDONESIA
Di negara
demokrasi dimana kebebasan menyuarakan pendapat, aksi intoleran pasti terjadi. Sebab
itu negara demokrasi harus memperkuat strategi toleransi.
Setelah
masa reformasi dimulai pada tahun 1998 indonesia menjadi basis kelompok radikal
seperti Islamic Defenders Front. Beberapa
pemimpin keagamaan dan pejabat pemerintah masih saja berpoleik tentang cara
melawan keyakinan tertentu dan kelompok minoritas. Di masyarakat demokrasi,
intoleran adalah perwujudan yang kurang baik bagi kebebasan berpolitik.
Uraian/penjelasan
Demo pada
tanggal 5 november 2016 Anti-ahok mengingatkan bahwa jutaan masyarakat
Indonesia masih sensitive terhadap Non-Muslim untuk menjadi pemimpin dari
sebuah negara mayoritas islam. hal itu membuktikan tidak suksesinya sebuah
demokrasi, bahkan hal itu cenderung menampakkan bahwa toleransi dipelihara dengan
hati-hati dan intoleransi diatur oleh pemimpin.
Negara dan Tempat bagi Agama
Hasil dari polemik yang terus menerus itu, membuktikan bahwa
banyak dari masyarakat Indonesia tidak khawatir dengan kepercayaan minoritas seperti
Kristen, Syiah dan Ahmadiyah. Setiap ekspresi intoleran harus bertemu dengan
ekspresi toleransi. Individual cenderung percaya terhadap suatu polemik ketika
mereka melihat tetangga mereka, teman sekelas dan sesama warga yang memiliki
pandangan keagamaan yang berbeda.
Hal ini adalah paparan tentang perbedaan yang menjelasakan bahwa
mengapa Muslim Indonesiandari latar belakangan keagaamaan etnis kristen yang
beragam seperti Toraja – Nias – Bali – cenderung lebih toleran dari etnis muslim
dari latar belakang Sasak, Sumbawa dan Sunda.
Pemerintah saat ini hanya mengakui enam agama: Islam, Budha,
Konfusianisme, Katolik, Hindu, Protestan, namun Indonesia adalah rumah bagi
agama-agama lain juga. Program Konferensi Indonesia di bidang Keagamaan dan
Perdamaian (ICRP) untuk eksistensi kepercayaan lokal merupakan contoh yang baik
dari sebuah upaya untuk mendidik masyarakat tentang tradisi-tradisi yang
berkembang seperti sunda wiwitan, Sikhisme, dan Baha’i.
Pengakuan publik
adalah srtategi penting untuk negara
memperluas toleransi diluar system pluralism yang tergerus. Perhatian khusus
juga harus ditujukan untuk mengedukasi pihak keamanan.
Saat ini bahkan
sistem pluralism malah mendorong penindasan kepapa minoritas-minoritas yang
belum diakui seperti Sunda Wiwitan. Ini bisa terjadi sebaliknya. Keppres Pasal
1 tahun 1965 tentang penghinaan dan penodaan agama menyatakan bahwa agama-agama
lain tidak bisa dilarang dan bahkan keppres tersebut menekan kepada kementerian
Agama suapaya mengakui sebuah tradisi yang ada. Daripada memaksa semua siswa
dididik di salah satu agama yang diakui, negara harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengambil kelas tentang perbandingan agama atau perbandingan
etnik atau tidak mengambil satu pun.
NU dan
Muhammadiyah sebagai tulang punggung dari Masyarakat Indonesia dan benteng
dalam memerangi kelopok radikalisme. Banyak dari para pemimpin organisasi tersebut
seperti Radica Mu’ti, Haedar Nasir, Said Aqil Siraj, dan Ahmad Ishomuddin
mereka semua mengecam intoleransi, hal itu mendorong para pendukung mereka akan
dapat menjaga demokrasi dan pluralism. Mencela intoleransi adalah bukan
“Permainan Politik” hal ini merupakan manifestasi penting dari NU dan komitmen Muhammadiyah
untuk toleransi.
Empat
hal yang tidak dipelajari dalam toleransi
Berkat
keterbukaan publik di Indonesia, ulama memainkan peran utama dalam memerangi intoleransi
di Indonesia. Namun ada banyak cara studi intoleransi bisa ditingkatkan.
Yang
pertama mereka harus tepat. Karena toleransi adalah sebuah nilai nyata menghadapi
kelompok minoritas. Itu adalah kesalahan, lebih dari 20 abad sikap terhadap
orang-orang Kristen jauh lebih baik, sementara sikap terhadap Syi’ah dan
Ahmadiyah justru memburuk. Perbedaan yang tidak bisa diabaikan. Demikian pula
semenjak intoleransi bisa dipelajari melalui sikap, wacana, kekerasan fisik,
atau kebijakan pemerintahan hal ini mudah untuk memunculkan semuanya
bersama-sama. Hal ini pun adalah sebuah kesalahan. Sejak demokratisasi di tahun
1998 dan kekeresan yang terjadi di masa itu, tindakan intoleransi terhadap umat
Kristen mulai menurun, tetapi itu tidak menunjukkan secara jelas bahwa sikap
toleransi telah meningkat.
Yang kedua,
mereka salah menggambarkan ukuran toleransi dalam demokrasi sekuler. demokrasi sekuler
seperti di Amerika juga menghadapi masalah intoleransi. Tidak ada yang memberikan
perhatian terhadap pergerakan warga kulit putih yang mendukung Donald Trump bisa
berpikir sebaliknya. Indonesia juga tidak akan dapat memecahkan persoalan
intoleransi jika negara masih saja menjadi sekuler. Ide tentang barat yang
telah memechakan permasalahan terhadap intoleransi agama – baik negara
berkembang atau negara muslim adalah bukan sebuah dogeng berbahaya.
Ketiga,
mereka tidak bisa menggambarkan tingkatan intoleransi di era Soeharto. Orde
baru menggunakan kelompok minoritas untuk menopang kekuasaan politik.
Sementara
itu orde baru juga menyaksikan munculnya tokoh toleransi seperi Abdurrahman
Wahid, hal ini menjelaskan bahwa gagasan gus dur bisa disematkan kepada anggota
NU atau Muslim Indonesia. Data survei sejak tahun 1998 menjunjukkan bahwa
pandangan gusdur mewakili hanya kelompok kecil. Persepsi umum bahwa Indonesia
menghadapi “Krisis Intoleransi” sejak demokrasi dibangun dari gambaran parsial
dari orde baru.
Indonesia
Tidak Istimewa
Akahirnya,
Indonesia bukan negara istimewa. System perundang-undangan yang plural sama
seperti India, Switzerland, Canada, Belgium, Spanyol dalam memberikan campuran
baik individual dan pengakuan kolektif. Islamic
Defender Foront di Indonesia sama seperi yang berkembang di Senegal, Mesir, dan
turki yang juga sama seperi Organisasi Pembela Kristen di Eropa Utara dan
Amerika Latin. Suatu anggapan yang keliru ketika dikatakan Islam Indonesia merupakan
agama yang menolak Analisa dan rekomendasi dalam malawan intoleransi.
Indonesia
menghadapi banyak tantangan yang sama yang dihadapi negara demokrasi lainnya:
Gerakan radikal, Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, kurangnya akses pendidikan
dan sejarah konflik sipil. Melihat bagaimana negara lain berhasil (dan tidak
berhasil) dalam menghadapi tantangan intoleransi dapat membantu Indonesia
menjadi bangsa yang lebih toleran dan dapat menjadi contoh bagi negara-negara
lain.
Jeremy
Menchik adalah seorang asisten Professor di Pardee School of Global Studies at
Boston University. Dia berkontribusi terhadap artikel ini untuk diberikan
kepada RSIS Commentary. Ini adalah bagian dari the Indoneisa programme of the
S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological
University.
Penerjemah Oplosan: R_a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar